Di kota, sekolah daring berarti laptop terbuka, koneksi stabil, dan ruang belajar yang nyaman. Tapi di banyak pelosok Indonesia, "jarak jauh" bukan soal metode, tapi perjuangan. Detik.com melihat langsung bagaimana seorang anak harus memanjat pohon tertinggi di desanya hanya untuk menangkap satu-dua batang sinyal. Di bawahnya, ibunya menunggu sambil menggenggam ponsel bekas yang dipinjam dari tetangga. Pendidikan memang hak semua, tapi akses belum jadi milik semua.
Anak-anak itu tak takut soal sulit atau tugas menumpuk—mereka justru cemas soal baterai ponsel yang cepat habis, atau sinyal yang hilang saat guru sedang menjelaskan. Tak jarang, mereka harus naik bukit, menyeberangi sungai, bahkan bermalam di rumah kerabat yang punya jaringan lebih baik. Kami melihat dengan mata kepala sendiri: belajar yang seharusnya membebaskan, kini berubah jadi perjuangan harian yang diam-diam melelahkan.
Dalam laporan, mungkin tertulis bahwa akses pendidikan daring tersedia di seluruh wilayah. Tapi cerita di balik angka itulah yang kami bawa ke permukaan. Kami berbincang dengan anak-anak yang lebih hafal titik sinyal di pohon daripada isi modul pelajaran. Kami mendengar keluhan orang tua yang tak tahu harus memilih: beli paket data atau beli beras. Mereka tak muncul di layar evaluasi, tapi mereka nyata—dan terus mencoba belajar, meski semua keadaan seolah melawan.
Kami tak menulis untuk menyalahkan, tapi untuk mengingatkan. Bahwa pendidikan tak seharusnya jadi beban tambahan bagi mereka yang sudah terpinggirkan. Ketika banyak yang merancang program dari ruang rapat ber-AC, kami naik bukit, menyusuri jalan tanah, dan menyimak dari balik dahan pohon tempat seorang anak mengangkat ponsel tinggi-tinggi. Karena di sanalah wujud sesungguhnya dari semangat belajar—yang tak akan muncul di presentasi, tapi hidup di kenyataan.